Hidup di Jakarta
mungkin terlihat sulit jika tidak ada usaha dan hanya jadi pengangguran. Untuk seorang
pengamen jalanan seperti Dio mungkin tidak begitu sulit. Jakarta keras, tapi
bisa ia takhlukan. Jakarta itu kejam, tapi tidak untuk Dio yang memiliki
seorang ibu yang sangat sayang dengannya. Dio hidup di Jakarta hanya bertiga
dengan ibu dan adiknya. Ayahnya telah meninggal dunia dua tahun yang lalu
karena sakit. Merantau dari pulau sebrang, mengadu nasip di Jakarta yang penuh
dengan kemewahan. Kuliah hanyalah mimpi untuknya, jangankan untuk kuliah, bisa
makan tiga kali sehari itu sudah kenikmatan untuk Dio dan keluarganya. Sejak kecil
ia bermimpi mempunyai kamera, selalu ia berharap bisa berfoto sekeluarga
didepan Monumen Nasional. Tapi kenyataannya lain, ayahnya telah meninggal dunia
sebelum ia sempat memiliki kamera dan berfoto bersama. Untuk sebuah kamera yang
sangat mahal harganya, Dio hanya bisa menabungkan uang hasil mengamen di celengan
ayam yang ia beli diwarung dekat rumahnya. Dia berharap suatu hari nanti ia
bisa memiliki kamera itu. Ya, suatu hari nanti.
Pagi yang
cerah, Dio sudah bersiap membersihkan gitarnya dan menyanyikan lagu-lagu yang
akan ia pakai untuk menghibur pendengarnya. Sebelum berangkat, ia membantu sang
ibu merapihkan dagangan yang akan dijajakannya di kereta api. Sayur matang yang
dijualnya mungkin tidak bisa membelikannya kamera, tapi syukurlah itu sudah
cukup untuk bersekolah adiknya yang masih duduk dibangku sekolah dasar dan
membayar uang kontrakan yang lumayan besar jumlahnya.
Lampu merah adalah nafas untuk seorang pengamen jalanan,
termasuk Dio. Menyanyikan satu buah lagu,dan berharap bakatnya bisa dihargai. Panas
adalah teman, hujan adalah kawan. Semua ia lakukan untuk membantu ibunya yang
sudah tua. Keringat tidak ada artinya asal ia bisa melihat sang ibu bisa tersenyum
setiap hari.
Ia yakin suatu hari nanti ia bisa membahagiakan sang ibu dan
adik perempuannya. Membelikan sebuah rumah, tak perlu mewah asalkan bisa
melindungi dari panasnya terik matahari dan dinginnya air hujan. Semangatnya tak
pernah pupus untuk menjadikan adiknya berguna bagi nusa dan bangsa. Harapannya ia
bisa melihat adiknya tersenyum memakan toga saat sarjana dan berfoto satu
keluarga dengan kamera yang ia punya. Dua hal yang membuat ia bisa bertahan
hingga saat ini, yaitu usaha dan doa.
Berdoa dan berusaha, hanya itu yang bisa ia lakukan. Nama ibu
dan adiknyalah yang selalu terdengar disetiap pintanya kepada Tuhan. Berharap kedua
harta berharganya itu selalu bisa bersamanya sampai nanti, ia tak bernafas
lagi.
sore menjelang
malam mengakhiri perjuangan Dio hari ini. ia segera kembali kerumah dan melaksanakan
kewajibannya selaku umat muslim. Dalam doanya terdengar suara dan tangisan
kecil yang ia panjatkan kepada Tuhan “Tuhan, tak ada yang aku pinta kecuali
kebahagiaan orang-orang yang aku sayangi. Melihat ibu dan adikku tersenyum adalah
cahaya terindah yang pernah aku lihat. Hanya satu pintaku Tuhan, jangan ambil
mereka sebelum aku sempat membahagiakannya” . tetesan air mata yang jatuh
adalah tanda betapa sungguhnya ia meminta. Ibunya yang tak sengaja mendengar
doanya pun segera memeluknya. Tiada kehangatan yang pernah ia dapatkan selain pelukan
seorang ibu.
Keesokan harinya ..
Ia mengamen di sebuah rumah makan yang ada diperempatan Kemang
Jakarta Selatan. Menyanyikan sebuah lagu yang sangat merdu. Membuat salah satu
pengunjung rumah makan terhenyuh mendengar keindahan suaranya. Tanpa disangka
itu adalah seorang produser. Dio segera diajaknya mengobrol empat mata dan
ditawarkannya tawaran yang sangat fantastis , yaitu rekaman. Ya itu adalah
mimpi Dio sejak dahulu.
“ini mimpi atau aku berhayal Tuhan?” gumamnya dalam hati
Tanpa basa-basi Dio menerima tawaran itu dengan senang hati
Empat bulan
berlalu, hasil rekaman Dio sudah mulai bisa dinikmati oleh penikmat musik. Radio,
televisi bahkan media masa. Hari demi hari kesuksesannya mulai terlihat,
orang-orang semakin mengenal siapa itu Dio Handika. Seorang pria pengamen
jalanan kini beralih menjadi penyanyi solo yang terkenal dan sukses.
Kesuksesannya kini telah ia nikmati. Ia membangun sebuah rumah
yang cukup besar, membeli mobil, dan membeli kamera. Akhirnya perjuangan selama
ini tidak sia-sia. Sekarang kamera bukanlah sekedar mimpi. Kini kamera menjadi
sesuatu yang nyata untuknya. Seperti mimpinya dulu, ia mengajak ibu dan adiknya
pergi ke Monumen Nasional untuk berfoto. Dibingkainya hasil jepretan itu,
dipandanginya setiap waktu. Senang, tapi sedih. Berfoto bersama keluarga, tapi
tanpa Ayah.
“mungkin aku emang belum sempat membahagiakan ayah, memeluk
ayah dalam bahagiaku saat ini. kesuksesan yang aku raih tanpa ayah. Foto yang
indah sekeluarga tanpa ayah, maaf ayah, selama aku hidup aku belum bisa
membahagiakan ayah. Tapi aku janji aku akan membahagiakan ibu dan adik kecilku.
Ayah yang tenang disana, seandainya aku bisa membangun rumah yang indah untuk
ayah disana, akan kubuatkan rumah untuk ayah dengan cat warna biru muda seperti
harapan ayah. Tapi kenyataannya beda, hanya doa yang bisa aku kirimkan untuk
ayah. Aku sayang ayah” , kata Dio sambil memeluk bingkai Foto yang ada dimeja
kamarnya.
Pesan dari cerita ini, berusahalah karena didunia ini tidak
ada yang tidak mungkin. Sukses adalah keharusan. Setelah sukses, bahagiakanlah orang
tua selagi kita bisa dan kita mampu. Jangan sia-siakan kesempatan yang ada. Bahagiakan
secepatnya orang-orang yang kita sayangi selagi masih ada hayatnya.